Cecep dan Heru adalah seorang mahasiswa semester akhir. Beberapa pekan lagi mereka akan menghadapi ujian kelayakan. Mereka harus mempresentasikan proposal skripsi mereka di hadapan dosen penguji. Baik Cecep maupun Heru sama-sama merasa dihantui oleh tanggal presentasi tersebut. Oleh karena itu, Cecep kemudian mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dia membaca ulang proposal skripsi dan mendesain ulang powerpoint-nya. Hasilnya, Cecep mampu menunjukkan performa terbaik di presentasinya. Sayangnya, di sisi lain Heru tidak mampu mempersiapkan diri. Akibatnya presentasi Heru tidak optimal dan mendapatkan banyak kritik dari dosen penguji. Heru masih saja merasa tertekan apabila teringat presentasinya hari itu meski kini telah lewat beberapa pekan. Kisah di atas menunjukkan bagaimana dua orang dapat memberikan respon yang berbeda, meskipun situasi yang dihadapi cenderung sama. Pada dasarnya, baik Cecep maupun Heru sama-sama dihadapkan pada situasi yang mengakibatkan stres. Stres adalah respon fisiologis tubuh terhadap suatu ancaman dari luar. Ancaman tersebut dapat berupa ancaman fisik, seperti berhadapan dengan hewan buas atau benda berbahaya, atau bisa juga berupa ancaman psikologis, seperti diputus pacar, kehilangan pekerjaan maupun pengalaman Cecep dan Heru untuk presentasi di depan para dosen tadi. Ancaman-ancaman ini disebut juga sebagai stressor. Pada tahun 1915, seorang peneliti asal Harvard Medical School, Walter B. Cannon, menemukan bahwa rupanya respon stres tidak terlepas dari adanya pengaruh psikofisiologi [1]. Cannon kemudian memaparkan sebuah teori mengenai respon fight-or-flight yang menjadi landasan pengembangan teori stres. Respon fight-or-flight merujuk kepada pilihan respon individu ketika berhadapan dengan sebuah situasi mengancam, apakah memilih untuk kabur (flight) atau menghadapi (fight) ancaman tersebut. Amygdala akan mengirimkan sinyal ke hipotalamus, yang kemudian mengatur produksi hormon. Kondisi yang mengancam mengakibatkan peningkatan produksi hormon stres seperti sitokin dan hormon adrenalin sehingga tubuh menjadi lebih terjaga dan lebih fokus dalam menentukan pilihan respon, apakah dapat dihadapi atau tidak dapat dihadapi [2]. Teori Cannon kemudian dikembangkan oleh Hans Selye pada 1950-an. Selye mengatakan bahwa stres memiliki sifat ganda, yakni dapat membuat individu menjadi lebih adaptif atau dapat membuat individu menjadi maladaptif, yang berarti mengganggu kemampuan penyesuaian individu [3]. Contoh kasus di atas menunjukkan bahwa stres mampu membantu Cecep dalam mempersiapkan presentasinya agar lebih baik lagi. Cecep menjadi mampu melatih pemahamannya dan menyusun powerpoint-nya. Akan tetapi, stres juga dapat mengganggu hari-hari kita, seperti apa yang dialami oleh Heru. Sifat ganda inilah yang kemudian mendasari perbedaan istilah stres baik (eustress) dan stres buruk (distress). Distress juga bisa dikatakan sebagai keadaan ketika kita tidak mampu beradaptasi dan mengatasi stres tersebut. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh stresor (penyebab stress) yang akut dan berkepanjangan. Seperti yang kita ketahui hal tersebut bisa berdampak terhadap kesejahteraan kita [4]. Stres memberikan pengaruh kepada semua sistem biologis yang ada pada tubuh kita. Baik itu sistem otot dan tulang, pencernaan, saraf, pernafasan, hormon dan reproduksi [5]. Untuk itu, stres yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan fungsi pada kehidupan sehari-hari. Dan menyebabkan manusia tidak dapat berusaha secara optimal dalam pekerjaannya. Bahkan terdapat asumsi bahwa stress psikologis yang kronis dapat mempercepat penuaan dini [6]. Namun stress tidak melulu berkaitan dengan efek yang negatif. Terdapat istilah stress baik (eustres). Seyle mengatakan eustress lebih berkaitan dengan emosi positif daripada emosi negatif [7]. Pendapat lain mengatakan jika eustress adalah respon positif dari individu terhadap adanya stresor. Hal yang menyebabkan terjadinya eustress mirip dengan distress, yakni intensitas dan waktu terjadinya stressor [8]. Hal tersebut dapat digambarkan melalui diagram di bawah. Dimana efektifitas dan stimulasi yang seimbang dapat mengarahkan ke stress baik yang dapat membantu meningkatkan produktivitas. Selain itu, eustress dikatakan dapat menghasilkan perbaikan pada sistem kekebalan tubuh [9]. Meskipun penyebab dari adanya stress (baik eustress maupun distress) berdasarkan intensitas dan lama berlangsungnya stressor, kemunculan eustress dan distres sebenarnya terletak pada emosi dan respon yang kita miliki. Melatih mindset bisa menjadi solusi yang tepat untuk memberikan respon yang lebih baik. Kelly McGonigal dalam awal bukunya memperkenalkan dua mindset tentang stress. Stress sebagai sesuatu yang merusak dan stress sebagai sesuatu yang meningkatkan diri. Jadi, manakah mindset yang kamu pilih dalam melihat stress? Referensi
Penulis: Rafli Sodiq Bagaskara dan Hanif Firdaus Gitya Iman Nurochim
0 Comments
Leave a Reply. |